1. PENDAHULUAN
Agama Budha lahir dan berkembang sekitar 6 abad sebelum Masehi.
Sebagai reaksi terhadap sistem upacara agama Hindu yang terlampau kaku.
Dari latar belakang munculnya, agama Budha mempunyai kaitan erat dengan
agama Hindu. Sebagai agama, ajaran Budha tidak bertolak dari Tuhan dan
hubungan-Nya dengan alam dan seluruh isinya.
Agama ini bertolak dari keadaan yang nyata, terutama tentang tata
susila yang harus dilaksanakan oleh manusia agar ia terbebas oleh
lingkaran dukha yang selalu mengikuti hidupnya. Pada mulanya
ajaran ini bukan merupakan agama tetapi hanya suatu ajaran untuk
melepaskan diri dari sangsara (samsara) dengan tenaga sendiri,
sebagaimana dilakukan sang Budha. Tetapi ajaran ini kemudian berubah
manjadi agama yang banyak penganutnya dan mempengaruhi daya pikir banyak
orang.
2. PENDIRI DAN PEMBAWA AGAMA BUDHA
Agama Budha didirikan oleh seorang pangeran yang bernama
Sidharta “yang cita-citanya tercapai”, Putra raja Sudhodana Gautama dan
Dewi Mahamaya dari kerajaan kecil Kapilawastu yang memerintah atas suku
Sakya di India utara yang berbatasan dengan Nepal. Ia dilahirkan pada
tahun 563 s.M. dan wafat pada tahun 483 s.M.[1]
Dalam kepercayaan para pemeluk agama Budha ada
beribu-ribu orang yang mendapatkan gelar kehormatan Budha dalam
sejarah. Untuk masa sekarang, orang yang mendapat pencerahan dan gelar
tersebut adalah Sidharta Gautama, Budha yang ke-28 dan yang mendirikan
agama Buddha sebagaimana dikenal sekarang ini.
Selain mendapatkan gelar Budha, Sidarta juga telah mendapatkan gelar Bhagoua (orang yang menjadi sendiri tanpa guru yang mengajar sebelumnya), Sakya Mimi (pertapa dari suku Sakya); Sakya Sumba (singa dari suku Sakya); Sugata (orang yang datang dengan selamat); Suaria Siddha (orang yang terkabul semua permintaannya) dan Tathagata (orang yang baru datang).
3. PENGERTIAN DASAR BUDDHA DARMA
Secara etimologi, perkataan Buddha berasal dari ”Buddh” yang berarti
bangun atau bangkit, dan dapat pula berarti pergi dari kalangan orang
bawah atau awam. Kata kerjanya, “bujjhati”, antara lain berarti bangun,
mendapatkan pencerahan, mengetahui, mengenal atau mengerti. Dari
arti-arti etimologis tersebut, perkataan Buddha mengandung
beberapa pengertian seperti: Orang yang telah memperoleh kebijaksanaan
sempurna; orang yang sadar secara spiritual; orang yang siap sedia
menyadarkan orang lain secara spiritual; orang yang bersih dari kotoran
batin yang berupa dosa (kebencian), lobha (serakah) dan moha (kegelapan).[2]
Buddha adalah yang telah mencapai penerangan sempurna. Semua yang
serupa dengan Sidharta Gautama yang menjadi pendiri agama Budha (Nabi)
telah mendapatkan julukan dengan nama Buddha, karena beliau adalah
seorang yang telah mencapai penerangan sempurna, pada waktu berusia 35
tahun lebih dari 2500 tahun yang lalu di India. Tujuan terakhir dari
seluruh umat Buddha dari sekte dan aliran agama Buddha manapun ialah
untuk mencapai penerangan sempurna dan menjadi Buddha. Karena adanya
perbedaan cara atau jalan untuk mencapai penerangan sempurna dan
kebuddhaan itu, maka agama Buddha terbagi atas aliran dan sekte-sekte
agama Budha. Di dalam aliran agama Buddha Mahayana, di samping dikenal
Sang Buddha Gautama sebagai Buddha yang bersejarah, tetapi aliran Budha
Mahayana juga mengenal Budha seperti: Buddha Amitaba (Amida), Buddha
virocana (dainici), Buddha Vajrayaguru (Yakushi) , dan sebagainya, yang
pada umumnya diterima sebagai lambang-lambang pujaan oleh para penganut
agama Buddha, karena terpengaruh oleh konsep adanya simbol “Negara Suci”
dalam agama Buddha di Jepang, seseorang menjadi Buddha setelah lahir
kembali dalam Negara Suci, maka semua orang yang meninggal dunia pada
umumnya disebut “Buddha” atau “Hotoke” dalam bahasa Jepang.
Dharma adalah ajaran yang benar ajaran sang Buddha. Ajaran yang
diajarkan oleh orang yang telah mencapai Penerangan Sempurna; sang
Buddha. Ada tiga kaidah keagamaan bagi agama Buddha yang disebut Sutra (ajaran yang diajarkan oleh sang Buddha sendiri), Vinaya (disiplin-disiplin yang diberikan oleh sang Buddha), dan Abidharma
(komentar-komentar dan diskusi-diskusi tentang Sutra dan Vinaya oleh
para sarjana di zaman-zaman belakangan). Ketiga-tiganya ini disebut
Tripitaka, dan Dharma itu merupakan satu dari Tri Ratna atau Tiga
Mustika agama Buddha.[3]
Namun di kalangan para pemeluknya, ajaran yang disampaikan Buddha
Gautama tidak harus dipandang sebagai agama atau filsafat saja, karena
pengertian yang menunjuk kepada arti agama atau filsafat atau semua
fenomena yang terdapat di alam ini telah tercakup dalam istilah dharma (sansesekerta) atau dhamma (pali) yang menjadi inti dari seluruh ajaran Gautama. Dengan demikian, pemakaian istilah Buddha Dharma atau Buddha Dhamma lebih sering dipergunakan oleh para pemeluk agama Buddha dari pada istilah agama.
4. TRIRATNA
Triratna yang bermakna tiga permata adalah tiga buah pengakuan dari setiap penganut agama Buddha, seperti halnya dengan credo di dalam agama Kristen atau syahadat di dalam agama Islam. Tiga Pengakuan di dalam agama Buddha itu berbunyi:
(1). Buddham saranam gacchami
(2). Dhamman saranam gacchami
(3). Sangham saranam dacchami
Bermakna:
(1) Saya berlindung di dalam Buddha
(2) Saya berlindung di dalam Dhamma
(3) Saya berlindung di dalam Sangha
Triratna harus diucapkan tiga kali. Pada kali yang kedua diawali dengan Dutiyam, yang bermakna: buat kedua kalinya. Pada kali yang ketiga diawali dengan Tatiyam, yang bermakna: buat ketiga kalinya.[4]
Secara garis besar ajaran agama Buddha dapat dirangkum dalam tiga ajaran pokok, yaitu Buddha, Dharma, dan Sangha. Ajaran tentang Buddha
menekankan pada bagaimana umat Buddha memandang sang Buddha Gautama
sebagai pendiri agama Buddha dan asas rohani yang dapat dicapai oleh
setiap makhluk hidup. Pada perkembangan selanjutnya ajaran tentang
Buddha ini berkaitan dengan masalah ketuhanan yang menjadi salah satu
ciri ajaran semua agama.
Ajaran tentang dharma banyak membicarakan tentang
masalah-masalah yang dihadapi manusia dalam hidupnya, baik yang
berkaitan dengan ciri manusia sendiri maupun hubungannya dengan apa yang
disebut Tuhan dan alam semesta dengan segala isinya.
Ajaran tentang Sangha selain mengajarkan bagaimana umat Buddha memandang sangha
sebagai pasamuan para bhikkhu, juga berkaitan dengan umat Buddha yang
menjadi tempat para Bhikkhu menjalankan dharmanya, juga dengan
pertumbuhan dan perkembangan agama Buddha, baik di tempat kelahirannya
di India maupun di tempat-tempat agama tersebut berkembang.
Buddha di dalam triratna itu dimaksudkan: Buddha Gautama,
Dhamma disitu dimaksudkan: pokok-pokok ajaran. Sangha disitu
dimaksudkan: biara. Ketiga-tiganya itu dinyatakan azas perlindungan bagi
setiap penganut agama Buddha, yakni azas keyakinan yang dianut mazhab
Theravada maupun mazhab Mahayana.
1) BUDDHA
Menurut ceritanya kelahiran Budha Gautama adalah pada
waktu di Kapilwastu diadakan perayaan musim panas, sang permaisuri Maya
bermimpi, bahwa beliau diangkat dan dibawa gunung Himalaya. Sesudah
beliau dimandikan dan dikenakan pakaian sorgawi, datanglah sang Buddha
seperti seekor gajah putih dengan mrembawa bunga teratai putih pada
belalainya. Sesudahnya gajah itu berputar-putar mengitari sang
permaisuri hingga tiga kali, masuklah ia ke dalam permaisuri Maya dengan
melalui pinggang kanan.
Setelah melalui proses kelahiran yang penuh keajaiban
itu, Sidharta Gautama kemudian menjalani hidup sebagai putra raja
Suddhodhana. Seluruh kehidupannya, secara garis besar dibagi atas empat
periode, yaitu:
a) Sebagai Pangeran Sidharta di istana Kapilawastu
b) Sebagai pertapa Gautama
c) Periode mendapat penerangan dan menjadi Buddha; dan
d) Periode mengajarkan dharma
a) Budha sebagai Pangeran Sidharta
Periode ini dimulai dengan saat kelahiran Sidharta Gautama hingga ia
mencapai usia 29 tahun. Diceritakan bahwa, setelah kelahirannya yang
penuh keajaiban, ia diramalkan akan menjadi raja, jika ia menduduki
tahta kerajaan, tetapi akan memilih hidup sebagai orang suci, menjadi
penakluk hidup, mencapai kesempurnaan sejati, menjadi Buddha, jika ia
melepaskan kedudukan atas tahta yang diwariskan orangtuanya.
Raja Sudhodhana ingin agar Sidharta menjadi raja yang besar dan kuasa
dari pada menjadi seorang Buddha. Oleh karena itu ia berusaha agar
Sidharta tidak melihat penderitaan dan memahami ketidakkekalan dunia
yang dapat menjadi dorongan baginya untuk meninggalkan keduniawian. Akan
tetapi usaha Sudhodhana tidak berhasil karena Buddha menjumpai
keadaan-keadaan yang jauh berbeda dengan apa yang dialaminya selama ini.
Pertama tanpa diduga, ia bertemu dengan orang yang sudah sangat tua di
luar istananya. Kedua bertemu dengan orang sakit yang mengerikan; Ketiga
dengan orang yang meninggal dunia; dan yang terakhir dengan seorang
pertapa yang sederhana yang wajahnya memperlihatkan wajah penuh
kedamaian dan pandangannya sangat tenang.
Sidharta Gautama meninggalkan istana pada usia 29 tahun, ketika anak
yang pertama lahir. Dengan menunggang kuda Kantaka yang ditemani oleh
saisnya, chanda. Kemudian dia memotong rambutnya dan menyerahkan senjata
serta perhiasan yang dibawanya kepada Chandra untuk dibawa kembali ke
istana. Sidharta tinggal selama tujuh hari tujuh malam, dan menggunakan
waktunya untuk merenungi kehidupan. Dengan langkah ini berakhirlah
riwayat Pangeran Sidharta dan mulailah kehidupan sebagai seorang
pertapa.
b) Sidharta Gautama sebagai Seorang Pertapa
Setelah tujuh hari tujuh malam di tepi sungai Anoma, Sidharta Gautama
kemudian berguru kepada dua Brahmana yang termasyhur, yaitu Alarakalama
dan Udnaka Ramaputra. Dari keduanya ia mendapatkan pelajaran bahwa
untuk mendapatkan kebahagiaan, manusia harus menjalankan upacara-upacara
sembahyang tertentu dan berkorban agar mendapat karunia Tuhan. Selain
itu dengan jalan perenungan dan ilmu-ilmu gaib, manusia akan mendapatkan
kebahagiaan hidup.
Tetapi pelajaran yang didapat dari kedua pendeta Brahmana tidak
memuaskan hatinya, karena pelajaran tersebut tidak dapat membawa manusia
mencapai kebebasan dari penderitaan, kematin, dan kelahiran kembali
kemudian memutuskan untuk pergi meninggalkan mereka menuju Uruwela untuk
masuk dan tinggal di sana.
Selama tinggal Uruwela Siddharta mulai menjalani hidup dengan
menyiksa diri, berpuasa, memnjalani segala macam cobaan untuk menguasai
diri, maka dalam waktu singkat ia tterkenal dengan pertapa yang suci.
Lima orang pertapa berguru kepadanya untuk mencari kebahagiaan hidup,
yaitu Kondana, Badiya, Wappa, Mahanama, dan Asaji.Mereka menyiksa diri
di hutan tersebut selama kurang lebih enam tahun lamanya, sehingga
membuat kondisi fisik mereka lemah. Ketika Sidharta sedang
berjalan-jalan untuk merenungi kehidupan, tiba-tiba ia jatuh pingsan
karena kondisi fisiknya yang sangat lemah, akhirnya sadarlah beliau
bahwa cara bertapa menyiksa diri yang eksrim itu adlah cara yang salah.
Pertapa Gautama sadar bahwa cara bertapa menyisa diri adalah cara
yang salah, setelah beliau mendengar suara lagu yang syairnya berbunyi
sebagai berikut:
Bila senar gitar ini dikencangkan
Suaranya akan semakin tinggi
Putuslah sena gitar ini
Dan lenyaplah suara gitar itu
Bila senar gitar ini di kendorkan
Suaranya akan semakkin merendah
Kalau terlalu dikendorkan
Maka lenyaplah suara gitar itu
Karena itu wahai manusia
Mengapa belum sadar-sadar pula
Dalam segala hal janganlah keterlaluan
Akhirnya pertapa Gautama menghentikan tapanya kemudian menjalani
hidup layaknya manusia biasa, karena cara baru yang ditempuhnya itu,
pergilah semua murid-muridnya karena dianggap telah murtad. Mulai saat
itu ia bertekad menempuh jalan yang dianggapnya benar, dengan usahanya
sendiri, menyelidiki, merenungkan, dan mnembus ke dalam batinnya
sendiri, ia melatih dirinya sendiri menguasai keinginan-keinginan
terhadap kenikmatan dan rangsangan indra, di samping menguatkan kekuatan
batin.
c) Mendapat Penerangan dan Menjadi Buddha
Pada suatu malam di bulan Waisak ketika bulan purnama, di tepi sungai
Neranjara, ketika ia sedang mengheningkan cipta, di bawah pohon Asatta
(pohon Bodi) dengan duduk padmasana melakukan meditasi mengatur
pernapasannya maka datanglah petunjuk kepadanya sehingga ia mendapatkan
ilmu pengetahuan tinggi yang meliputi hal berikut:
- 1. Pubbenivasanussati, yaitu pengetahuan tentang kehidupan dan proses kelahiran kembali.
- 2. Dibacakku, yaitu pengetahuan dari mata dewa dan mata batin
- 3. Cuti Upapatana, yaitu pengetahuan bahwa timbul dan hilangnya bentuk-bentuk kehidupan, baik atau buruk, bergantung pada perilaku masing-masing.
- 4. Asyakkhyanana, pengetahuan tentang padamnya semua kecenderungan dan Avidya, tentang menghilangkan ketidaktahuan[5]
Dengan pengetahuan tersebut ia mendapatkan penerangan yang sempurna,
pengetahuan sejati dan kebebasan batin sempurna. Dia telah mendapatkan
jawaban teka-teki kehidupan yang selama ini dicarinya, dengan pengertian
penuh sebagaimana tercantum dalam empat Kesunyatan Mulia yaitu Penderitaan, Sumber Penderitaan, Lenyapnya penderitaan, dan delapan cara yang utama menuju lenyapnya penderitaan itu.
Dengan telah tercapainya penerangan tersebut maka Sidharta Gautama
telah menjadi Buddha pada umur 35 tahun, ia telah menjadi ‘Accharya
Manusa’ atau guru dari manusia. Pada minggu terakhir melalui perenungan
mendalam, ia berhasil mengetahui sebab akibat dari rangkaian
penderitaan. Yaitu karena adanya karma maka terjadilah bentuk karma
karena adanya bentuk karma maka terjadilah kesadaran; karena terjadi
kesadaran terjadilah bentuk batin, karena adanya bati dan jasmani ,
terjadilah enam indra, karena adanya indra, terjadilah kesan; karena
adanya kesan, terjadilah perasaan; karena adannya peilah proses
‘dumadrasaan, terjadilah keinginan; karena adanya keinginan, terjadilah
ikatan; karena adanya ikatan, terjadilah proses ‘Dumadi’;karena adanya
proses ‘dumadi’, terjadilah tumimbal lahir; karena adanya tumimbal
lahir, terjadilah umur tua;, kelapukan, kesusahan, ratap tangis,
kesakitan, kesedihan, kematian, dan lain-lainnya.Demikianlah seluruh
rangkain penderitaan itu.
Pada saat kedua malam itu, Buddha merenungkanrangkain sebab musabab
yang saling bergantungan itu secara terbalik. Dan pada saat ketiga malam
itu, Buddha merennungkan sebab musabab yang saling bergantungan itu
dengan kedua cara terserbut, yaitu dengan langsung dan dengan cara
terbalik sekaligus.
Buddha menetap selama 7 minggu di tempat itu. Pada hari terakhir
kejadian yang suci itu, datanglah dua saudara Taphussa dan Balukkha yang
terpesona dengan wajah sang Buddha. Keduanya lalu menjadi pengikutnya
yang pertama.
d) Mengajarkan Dharma
Dengan kegembiraan yang tak terkira ia pun bangkit dari pertapaanya
dan berangkat menuju kota Benares, tempat suci dan tempat ziarah bagi
penganut agama Hindu. Pada suatu tempat bernama Sarnath, tidak jauh dari
Benares, ia berjumpa dengan lima rahib bekas muridnya itu dan kepada
merekalah ia mulai menyampaikan ajarannya yang yang pertama Himpunan
ucapannya dipandangn kotbah pertama (first Sermon) dalam
sejarah agama Buddha. Kotbah pertama itu meletakkan azas ajaran dari
seluruh ajarannya, terkenal dengan sebutan Empat Kebenaran Utama (Catu Arya Sacca) dan Delapan Jalan Kebajikan (Arya Attha Ngika Magga).[6]
2) DHARMA
Yang dimaksud Dharma adalah ialah doktrin atau pokok ajaran, inti ajaran agama Buddha dirumuskan dalam empat kebenaran yang mulia atau empat aryasatyani yang terdiri dari empat kata yaitu: Dukha, Samudaya, nirodha dan Marga.
Empat Kebenaran Utama:
- Ada itu suatu derita (Dukkha)
- Derita itu disebabkan Hasrat (Samudaya)
- Hasrat itu mestilah ditiadakan (nirodha)
- Peniadaan itu dengan delapan jalan (Marga)
Dukha ialah penderitaan. Hidup adalah menderita. Kelahiran
adalah penderitaan, umur tua adalah penderitaan, sakit adalah
penderitan, mati adalah penderitaa, disatukan dengan yang tidak dikasihi
adalah penderitaan, tidak tercapai apa yang diinginkan adalah
penderitaan. Singkatnya kelima pelekatan kepada dunia ini adalah
penderitaan.
Samudya adalah sebab. Penderitaan ada sebabnya. Yng menyebabkan orang
dilahirka kembali adalah keinginan kepada hidup, dengan disetai nafsu
yang mencari kepuasan di sana-sini, yaitu kehausan pada kesenangan,
kehausan kepada yang ada, kehausan pada kekuasaan.
Nirodha adalah pemadaman. Pemadaman kesengsaraan terjadi dengan
penghapusan keinginan secara sempurna, dengan pembuangan keinginan itu,
dengan penyangkalan terhadapnya, dengan pemisahannyadari dirinya dan
dengan tidak memberi tempat kepadanya.
Marga ialah jalan kelepasan , jalan yang menuju kepada pemadaman penderitaan ada delapan, yaitu delapan jalan kebajikan:
- Pengetian yang benar (samma-ditthi)
- Maksud yang benar (samma-sankappa)
- Bicara yang benar (samma-vacca)
- Laku yang benar (samma-kammarta)
- Kerja yang benar (samma- ajiva)
- Ikhtiar yang benar (samma- vayama)
- Ingatan yang benar (samma-sati)
- Samadhi yang benar( samma-samadhi)
Pokok ajaran Buddha Gautama yang utama ialah,
bahwa hidup adalah menderita. Seandainya di dalam dunia tidak ada
penderitaan, Buddha tidak akan menjelma di dunia. Oranng dilahirkan
menjadi tua dan mati; tiada hidup yang tetap. Sedang manusia hidup ia
menderita sakit, dan semua itu adalah peneritaan. Untuk menerangkan hal
ini diajarkan Pratitya Samutpada, artinya pokok permulaan yang
bergantungan. Seluruhnya diajarkan adanya 12 pokok permulaan, yang jelas
kehausan atau keinginan yang menyebabkan adanya penderitaan pada
hakikatnya disebabkan oleh ketidaktahuan atau awidya.
3) SANGHA
Pengikut agama Budha dibagi menjadi dua bagian, yaitu: para Bhiksu
atau para rahib dan para kaum awam. Kelompok pertama terdiri dari
Bikkhu, Bikkhuni, Samanera, dan Samaneri. Kelompok masyarakat awam
terdiri dari upasaka dan upasaki yang telah menyatakan diri berlindung
kepada Buddha, Dharma, dan Sangha serta melaksanakan prinsip-prinsip
moral bagi umat awam dan hdup berumah tangga.
Sangha adalah persamuan dari makhluk-makhluk suci yang disebut ‘Arya
Punggala’ yaitu mereka yang sudah mencapai buah kehidupan beragama yang
ditandai dengan kesatuan pandangan yang bersih dengan sila yang
sempurna. Tingkat kesucian yang mereka capai itu mulai dari tingkat
‘sotapatti’, ‘sakadagami’, ‘anagami’, sampai tingkat ‘arahat’. Tetapi
setelah agama Buddha Mahayana berkembang maka barang siapa bertujuan
untuk memperoleh kedudukan Bodhisatwa, tak perduli apa ia orang awam,
atau alim ulama, semua bergabung bersama-sama dalam suatu persaudaraan.
Tingkat Sotapati adalah tingkat kesucian pertama , dimana mereka
masih menjelma tujuh kali lagi sebelum mencapai nirwana. Pada tingakatan
ini seorang Satopati masih harus mematahkan belenggu kemayaan aku,
keragu-raguan, ketakhayulan sebelum dapat meningkat ke Sakadagemi. Pada
tingkat Sakadagemi ia harus menjelma sekali lagi sebelum mencapai
nirwana. Ia harus dapat membangkitkan kundalini sebelum naik ke tingkat
anagami. Setela mencapai tingkat anagami, ia tidak perlu menjelma lagi
untuk mencapai nirwana namun harus mematahkan beberapa belenggu sebelum
mencapai tingkat terakhir, yaitu arahat. Belenggu tersebut adalah
kecintaan yang indrawi dan kemarahan atau kebencian. Setelah berhasil
mematahkan belenggu tersebut ia kemudian naik ke tingkat arahat dan
dapat langsung mencapai nirwana di dunia maupun sesudah meninggalnya.
Pada tingkatan ini ia harus mematahkan belenggu keinginan untuk hidup
dalam bentuk (ruparaga), keinginan untuk hidup tanpa bentuk (arupara),
kecongkakan (mano), kegoncangan batin (udacca) dan kekurangan
kebijaksanaan.
Pengikut Buddha yang kedua adalah kaum awam, ialah yang mengakui
Buddha sebagai pemimpin keagamaanya dan tetap hidup di dalam masyarakat
dengan berkeluarga. Pada hakekatnya para kaum awam tidak dapat mencapai
nirwana. Sekalipun demikian kedudukan mereka adalah sangat penting,
mereka sudah bverada pada awal jalan yang menuju kepada kelepasan.
4) SADDHA
Keyakinan (saddha-bahasa pali atau sradha-bahasa sanskerta) memilki
makna sebagai keyakinan yang nyata atau kepercayaan yang benar
(Confidet). Dalam ajaran Buddha sesungguhnya menekankan suatu
kepercayaan yang timbul oleh suatu yang nyata pula. Inilah yang disebut
saddha, atau dapat diartikan sebagai keyakinan yang telah mencakup
pengertian percaya didalamnya. Jadi kata saddha itu dapat diartikan
sebagai (1) keyakinan (2) kepercayaan-benar (3) keimanan dalam bakti.
Keyakinan dalam agama Buddha bukan keyakinan yang membuta berdasarkan
dogma-dogma. Apabila tidak dilaksanakan membawa manusia pada alam
neraka. “Keyakinan dalam Buddha yang paling utama adalah keyakinan
kepada Buddha, keyakinan pada jalan mulia berunsur delapan, keyakinan
kepada ketiadaan hawa nafsu (Viraga) atau Nibbana yang dinyatakan juga
sebagai dhamma dan keyakinan kepada Ariya-Sangha, persaudaraan
orang-orang suci” (A.II:34). Buddha memberikan petunjuk terhadap
keyakian adalah datang dan buktikan. Perbuatan yang memberikan dampak
kebahagiaan harus tetap dilaksanakan, tetapi perbuatan yang membawa
penderitaan jangan dilakukan. Buddha menolak ajaran pandangan yang salah
berdasarkan keyakianan yang membuta, dilakukan oleh kaum titiya dan
carvaka yang menggangap bahwa kehidupan manusia akan mengalami
kebahagiaan dan hidup hanya sesaat atau tubuh adalah sumber penderitaan
dan harus disiksa.[7]
Keyakinan Budha
- Sang Hyang Adhi Budha
Adhi budha yaitu budha yang pertama, yang di pandang sudah
ada pada mula pertama, yang tanpa asal, yang tanpa asal, yang berada
karena dirinya sendiri, yang tak pernah tampak karena berada di dalam
nirwana.
Adhi budha adalah dharmakaya yang kekal, abadi, tanpa awal tanpa
akhir, tanpa bentuk dan meliputi seluruh jagad raya, hanya dapat
diselami oleh mereka yang telah mencapai samyak sabadh, kesadaran
teragung. Dharmakaya tidak datang dimanapun dan tidak kembali kemanapun,
tidak menonjolkan diri juga juga tidak musnah, tenang dan akal utuk
selama-lamanya. Inilah yang unggal, yang esa, bebas dari segala arah,
tidak memiliki batas-batas arah, tetapi terkandung dalm semua tubuh.
Sebagai tuhan yang maha esa adhi budha memiliki beberapa nama yang
menunjukan kekuasaannya dan kekeuasaannya.
- Para Budha
Terdapat 27 para budha –budha yang terdahulu:
- Thankara
- Medhankara
- Saranankara
- Dipankara
- Kondanna
- Sumana
- Revata
- Shobita
- Anomadasi
- Paduma
- Sumedha
- Sujata
- Piyadasi
- Attadasi
- Dhammadasi
- Siddhathta
- Tissa
- Phussa
- Vipassi
- Sikhi
- Vessabha
- Kausandha
- Konagamana
- Kassapa
- Budha gautama
- Bodhisatwa
Secara etimologi bodhisatwa terdiri dari
kata bodhi, suci dan satwa yang berarti mahluk. Jadi kata bodhisatwa
artinya mahluk suci. Secara harfiah bodhisatwa berarti orang yang
hakikat atau tabiatnya adalah bodhi (hikmat) yang sempurna. Orang yang
mempersiapkan diri untuk mencapai tingkat budha.
Berdasarkan sifatnnya bodhsatwa di bedakan menjadi tiga:
- Bodhisatwa pannadhika
Ialah bodhisatwa yang di dalam usahanya untuk mencapai tingkat
kebudhaan lebih mengutamakan kebijaksanaan, dimana lebih banyak
mengadakan perenungan terhadap hakekat dari kehidupan ini.
- Bodhisatwa Saddhadika
Ialah bodhisatwa yang didalam usahanya untuk mencapai tingkat
kebudaan lebih mengutamakan keyakinan (sadha) terhadap darma yang
diajarkan oleh budha. Dengan mengembangkan keyakinan terhadap apa yang
diajarkan oleh budha maka tercapailah tingkat budha.
- Bodhisatwa viriyadika
Ialah bodisatwa yang di dalam usahanya untuk mencapai tingkat
kebudhaan, lebih mengutamakan pengabdian kepadanpenderitaan semua mahlik
dengan kemauan keras
Sebelum Mahayana timbul, pengertian bodhisatwa sudah di kenal
juga, dan dikenakan juga kepada budha Gautama, sebelum ia menjadi budha.
Di situ bodhisatwa berarti orang yang sedang dalam perjalanan untuk
mencapai hikmat yang sempurna, yaitu orang yang akan menjadi budha. Jadi
semula bodhisatwa adalah sebuah gelar bagi tokoh yang ditetapkan untuk
menjadi budha.
Dalam Mahayana ialah orang yang sudah melepaskan dirinya dan
dapat menemukan sarana untuk menjadi benih pencerahan tumbuh dan menjadi
masak pada diri orang lain. Seseorang bodhisatwa bukan hanya
merenungkan kesengsaraan dunia saja, melainkan turut merasakannya dengan
berat, oleh karena nya ia sudah mengambil keputusan untuk mempergunakan
segala aktivitas
- Arahat
Arahat adalah orang yang telah berhasil membebaskan diri dari
dukha mencapai tingkat kesucian tertinggi.arahat juga merupakan orang
yang sudah bebas daripada segala keinginan untuk di lahirkan kembali,
baik dalam dunia yang tidak berbentuk, maupun di dalam dunia yang tidak
berbentuk, ia juga sudah bebass daripada sgala ketinggian hati,
kebenaran diri, dalam ketidaktahuan.
Proses tercapainya tingkat kesucian arahat adalahterlebih dahulu
harus menjadi bodhisatwa saddhadika, setelah itu dalam usahannya lebih
mengutamakan keyakinan terhadap dhamma yang diajarkan oleh budha Gautama
dan akhirnya tercapailah penerangan sempurna, ialah yang disebut savaka
bodhi dan kemudian menjadi savaka budha yaiyu disebut juga arahat.
Daftar pustka
Ali. A. Mukti, Agama-Agama Dunia, Yogyakarta: Hanindita. 1988
Sou Yb, Josef, Agama-Agama Besar Di Dunia. Jakarta: Husna Zikra, 1996.
Hadi Kusuma, Hilma. Antropologi Agama, Bandung: Citra Aditiya Bakti, 1993.
Pendo Kyokai, Bukkyo. Ajaran Sang Budha Danipan Gita, Karya Printing
Hadiwijono, Dr. Harun, Agama Hindu dan Budha. Jakarta: Gunung Mulia 1987.
Endnote
[1]. Dr Harun Hadiwijoyo. Agama Hindu dan Buddha. H.50
[2] .H.A. Muktti Ali. Agama-agama di Dunia.h.102
[3] Bukkyo Dendo Kyokai; Ajaran Sang Buddha.h.174.
[4] .Joesoef Sou’yb. Agama-agama besar di Dunia.h.80
[5] .Prof. H.Hilman Hadikusuma, S.H. Antropologi Agama. H.211
[6] Ibid. h. 79
[7] . http://shopaka.blogspot.com/2010/04/keyakinan-dalam-buddha-dhamma.html. 6-3 2012 13:58
Tidak ada komentar:
Posting Komentar