Rabu, 30 Mei 2012

PENGERTIAN DASAR BUDHA DHARMA, TRI RATNA DAN SADHA



1. PENDAHULUAN

Agama Budha lahir dan berkembang sekitar 6 abad sebelum Masehi. Sebagai reaksi terhadap sistem upacara agama Hindu yang terlampau kaku. Dari latar belakang munculnya, agama Budha mempunyai kaitan erat dengan agama Hindu. Sebagai agama, ajaran Budha tidak bertolak dari Tuhan dan hubungan-Nya dengan alam dan seluruh isinya.
Agama ini bertolak dari keadaan yang nyata, terutama tentang tata susila yang harus dilaksanakan oleh manusia agar ia terbebas oleh lingkaran dukha yang selalu mengikuti hidupnya. Pada mulanya ajaran ini bukan merupakan agama tetapi hanya suatu ajaran untuk melepaskan diri dari sangsara (samsara) dengan tenaga sendiri, sebagaimana dilakukan sang Budha. Tetapi ajaran ini kemudian berubah manjadi agama yang banyak penganutnya dan mempengaruhi daya pikir banyak orang.

2. PENDIRI DAN PEMBAWA AGAMA BUDHA

            Agama Budha didirikan oleh seorang pangeran yang bernama Sidharta “yang cita-citanya tercapai”, Putra raja Sudhodana Gautama dan Dewi Mahamaya dari kerajaan kecil Kapilawastu yang memerintah atas suku Sakya di India utara yang berbatasan dengan Nepal. Ia dilahirkan pada tahun 563 s.M. dan wafat pada tahun 483 s.M.[1]
            Dalam kepercayaan  para pemeluk agama Budha ada beribu-ribu orang yang mendapatkan gelar kehormatan  Budha dalam sejarah. Untuk masa sekarang, orang yang mendapat pencerahan dan gelar tersebut adalah Sidharta Gautama, Budha yang ke-28 dan yang mendirikan agama Buddha sebagaimana dikenal sekarang ini.
            Selain mendapatkan gelar Budha, Sidarta juga telah mendapatkan gelar Bhagoua (orang yang menjadi sendiri tanpa guru yang mengajar sebelumnya), Sakya Mimi (pertapa dari suku Sakya); Sakya Sumba (singa dari suku Sakya); Sugata (orang yang datang dengan selamat); Suaria Siddha (orang yang terkabul semua permintaannya) dan Tathagata (orang yang baru datang).

3. PENGERTIAN DASAR BUDDHA DARMA

Secara etimologi, perkataan Buddha berasal dari ”Buddh” yang berarti bangun atau bangkit, dan dapat pula berarti pergi dari kalangan orang bawah atau awam. Kata kerjanya, “bujjhati”, antara lain berarti bangun, mendapatkan pencerahan, mengetahui, mengenal atau mengerti. Dari arti-arti etimologis tersebut, perkataan Buddha mengandung beberapa pengertian seperti: Orang yang telah memperoleh kebijaksanaan sempurna; orang yang sadar secara spiritual; orang yang siap sedia menyadarkan orang lain secara spiritual; orang yang bersih dari kotoran batin yang berupa dosa (kebencian), lobha (serakah) dan moha (kegelapan).[2]
Buddha adalah yang telah mencapai penerangan sempurna. Semua yang serupa dengan Sidharta Gautama yang menjadi pendiri agama Budha (Nabi) telah mendapatkan julukan dengan nama Buddha, karena beliau adalah seorang yang telah mencapai penerangan sempurna, pada waktu berusia 35 tahun lebih dari 2500 tahun yang lalu di India. Tujuan terakhir dari seluruh umat Buddha dari sekte dan aliran agama Buddha manapun ialah untuk mencapai penerangan sempurna dan menjadi Buddha. Karena adanya perbedaan cara atau jalan untuk mencapai penerangan sempurna dan kebuddhaan itu, maka agama Buddha terbagi atas aliran dan sekte-sekte agama Budha. Di dalam aliran agama Buddha Mahayana, di samping dikenal Sang Buddha Gautama sebagai Buddha yang bersejarah, tetapi aliran Budha Mahayana juga mengenal Budha seperti: Buddha Amitaba (Amida), Buddha virocana (dainici), Buddha Vajrayaguru (Yakushi) , dan sebagainya, yang pada umumnya diterima sebagai lambang-lambang pujaan oleh para penganut agama Buddha, karena terpengaruh oleh konsep adanya simbol “Negara Suci” dalam agama Buddha di Jepang, seseorang menjadi Buddha setelah lahir kembali dalam Negara Suci, maka semua orang yang meninggal dunia pada umumnya disebut “Buddha” atau “Hotoke” dalam bahasa Jepang.
Dharma adalah ajaran yang benar ajaran sang Buddha. Ajaran yang diajarkan oleh orang yang telah mencapai Penerangan Sempurna; sang Buddha. Ada tiga kaidah keagamaan bagi agama Buddha yang disebut Sutra (ajaran yang diajarkan oleh sang Buddha sendiri), Vinaya (disiplin-disiplin yang diberikan oleh sang Buddha), dan Abidharma (komentar-komentar dan diskusi-diskusi tentang Sutra dan Vinaya oleh para sarjana di zaman-zaman belakangan). Ketiga-tiganya ini disebut Tripitaka, dan Dharma itu merupakan satu dari Tri Ratna atau Tiga Mustika agama Buddha.[3]
 Namun di kalangan para pemeluknya, ajaran yang disampaikan Buddha  Gautama tidak harus dipandang sebagai agama atau filsafat saja, karena pengertian yang menunjuk kepada arti agama atau filsafat atau semua  fenomena yang terdapat di alam ini telah tercakup dalam istilah dharma (sansesekerta) atau dhamma (pali) yang menjadi inti dari seluruh ajaran Gautama. Dengan demikian, pemakaian istilah Buddha Dharma atau Buddha Dhamma lebih sering dipergunakan oleh para pemeluk agama Buddha dari pada istilah agama.

4. TRIRATNA

Triratna yang bermakna tiga permata adalah tiga buah pengakuan dari setiap penganut agama Buddha, seperti halnya dengan credo di dalam agama Kristen atau syahadat di dalam agama Islam. Tiga Pengakuan di dalam agama Buddha itu berbunyi:
(1). Buddham saranam gacchami
(2). Dhamman saranam gacchami
(3). Sangham  saranam dacchami
Bermakna:
(1)   Saya berlindung di dalam Buddha
(2)   Saya berlindung di dalam Dhamma
(3)   Saya berlindung di dalam Sangha
Triratna harus diucapkan tiga kali. Pada kali yang kedua diawali dengan Dutiyam, yang bermakna: buat kedua kalinya. Pada kali yang ketiga diawali dengan Tatiyam, yang bermakna: buat ketiga kalinya.[4]
Secara garis besar ajaran agama Buddha dapat dirangkum dalam tiga ajaran pokok, yaitu Buddha, Dharma, dan Sangha. Ajaran tentang Buddha menekankan pada bagaimana umat Buddha memandang sang Buddha Gautama sebagai pendiri agama Buddha dan asas rohani yang dapat dicapai oleh setiap makhluk hidup. Pada perkembangan selanjutnya ajaran tentang Buddha ini berkaitan dengan masalah ketuhanan yang menjadi salah satu ciri ajaran semua agama.
Ajaran tentang dharma banyak membicarakan tentang masalah-masalah yang dihadapi manusia dalam hidupnya, baik yang berkaitan dengan ciri manusia sendiri maupun hubungannya dengan apa yang disebut Tuhan dan alam semesta dengan segala isinya.
Ajaran tentang Sangha selain mengajarkan bagaimana umat Buddha memandang sangha sebagai pasamuan para bhikkhu, juga berkaitan dengan umat Buddha yang menjadi tempat para Bhikkhu menjalankan dharmanya, juga dengan pertumbuhan dan perkembangan agama Buddha, baik di tempat kelahirannya di India maupun di tempat-tempat agama tersebut  berkembang.
Buddha di dalam triratna itu dimaksudkan: Buddha Gautama, Dhamma disitu dimaksudkan: pokok-pokok ajaran. Sangha disitu dimaksudkan: biara. Ketiga-tiganya itu dinyatakan azas perlindungan bagi setiap penganut agama Buddha, yakni azas keyakinan yang dianut mazhab Theravada maupun mazhab Mahayana.

1)      BUDDHA
            Menurut ceritanya kelahiran Budha Gautama adalah pada waktu di Kapilwastu diadakan perayaan musim panas, sang permaisuri Maya bermimpi, bahwa beliau diangkat dan dibawa gunung Himalaya. Sesudah beliau dimandikan dan dikenakan pakaian sorgawi, datanglah sang Buddha seperti seekor gajah putih dengan mrembawa bunga teratai putih pada belalainya. Sesudahnya gajah itu berputar-putar mengitari sang permaisuri hingga tiga kali, masuklah ia ke dalam permaisuri Maya dengan melalui pinggang kanan.
            Setelah melalui proses kelahiran yang penuh keajaiban itu, Sidharta Gautama kemudian menjalani hidup sebagai putra raja Suddhodhana. Seluruh kehidupannya, secara garis besar dibagi atas empat periode, yaitu:
a)      Sebagai Pangeran Sidharta di istana Kapilawastu
b)      Sebagai pertapa Gautama
c)      Periode mendapat penerangan dan menjadi Buddha; dan
d)     Periode mengajarkan dharma

a)    Budha sebagai Pangeran Sidharta
Periode ini dimulai dengan saat kelahiran Sidharta Gautama hingga ia mencapai usia 29 tahun. Diceritakan bahwa, setelah kelahirannya yang penuh keajaiban, ia diramalkan akan menjadi raja, jika ia menduduki tahta kerajaan, tetapi akan memilih hidup sebagai orang suci, menjadi penakluk hidup, mencapai kesempurnaan sejati, menjadi Buddha, jika ia melepaskan kedudukan atas tahta yang diwariskan orangtuanya.
Raja Sudhodhana ingin agar Sidharta menjadi raja yang besar dan kuasa dari pada menjadi seorang Buddha. Oleh karena itu ia berusaha agar Sidharta tidak melihat penderitaan dan memahami ketidakkekalan dunia yang dapat menjadi dorongan baginya untuk meninggalkan keduniawian. Akan tetapi usaha Sudhodhana tidak berhasil karena Buddha menjumpai keadaan-keadaan yang jauh berbeda dengan apa yang dialaminya selama ini. Pertama tanpa diduga, ia bertemu dengan orang yang sudah sangat tua di luar istananya. Kedua bertemu dengan orang sakit yang mengerikan; Ketiga dengan orang yang meninggal dunia; dan yang terakhir dengan seorang pertapa yang sederhana yang wajahnya memperlihatkan wajah penuh kedamaian dan pandangannya sangat tenang.
Sidharta Gautama meninggalkan istana pada usia 29 tahun, ketika anak yang pertama lahir. Dengan menunggang kuda Kantaka yang ditemani oleh saisnya, chanda. Kemudian dia memotong rambutnya dan menyerahkan senjata serta perhiasan yang dibawanya kepada Chandra untuk dibawa kembali ke istana. Sidharta tinggal selama tujuh hari tujuh malam, dan menggunakan waktunya untuk merenungi kehidupan. Dengan langkah ini berakhirlah  riwayat Pangeran Sidharta  dan mulailah kehidupan sebagai seorang pertapa.



b)   Sidharta Gautama sebagai Seorang Pertapa
Setelah tujuh hari tujuh malam di tepi sungai Anoma, Sidharta Gautama kemudian berguru kepada dua Brahmana yang termasyhur, yaitu Alarakalama dan Udnaka Ramaputra. Dari keduanya ia mendapatkan pelajaran bahwa untuk mendapatkan kebahagiaan, manusia harus menjalankan upacara-upacara sembahyang tertentu dan berkorban agar mendapat karunia Tuhan. Selain itu dengan jalan perenungan dan ilmu-ilmu gaib, manusia akan mendapatkan kebahagiaan hidup.
Tetapi pelajaran yang didapat dari kedua pendeta Brahmana tidak memuaskan hatinya, karena pelajaran tersebut tidak dapat membawa manusia mencapai kebebasan dari penderitaan, kematin, dan kelahiran kembali kemudian memutuskan untuk pergi meninggalkan mereka menuju Uruwela untuk masuk dan tinggal di sana.
Selama tinggal Uruwela Siddharta mulai menjalani hidup dengan menyiksa diri, berpuasa, memnjalani segala macam cobaan untuk menguasai diri, maka dalam waktu singkat ia tterkenal dengan pertapa yang suci. Lima orang pertapa berguru kepadanya untuk mencari kebahagiaan hidup, yaitu Kondana, Badiya, Wappa, Mahanama, dan Asaji.Mereka menyiksa diri di hutan tersebut selama kurang lebih enam tahun lamanya, sehingga membuat kondisi fisik mereka lemah. Ketika Sidharta sedang berjalan-jalan untuk merenungi kehidupan, tiba-tiba ia jatuh pingsan karena kondisi fisiknya yang sangat lemah, akhirnya sadarlah beliau bahwa cara bertapa menyiksa diri yang eksrim itu adlah cara yang salah.
Pertapa Gautama sadar bahwa cara bertapa menyisa diri adalah cara yang salah, setelah beliau mendengar suara lagu yang syairnya berbunyi sebagai berikut:

Bila senar gitar ini dikencangkan
Suaranya akan semakin tinggi
Putuslah sena gitar ini
Dan lenyaplah suara gitar itu

Bila senar gitar ini di kendorkan
Suaranya akan semakkin merendah
Kalau terlalu dikendorkan
Maka lenyaplah suara gitar itu

Karena itu wahai manusia
Mengapa belum sadar-sadar pula
Dalam segala hal janganlah keterlaluan

Akhirnya pertapa Gautama menghentikan tapanya kemudian menjalani hidup layaknya manusia biasa, karena cara baru yang ditempuhnya itu, pergilah semua murid-muridnya karena dianggap telah murtad. Mulai saat itu ia bertekad menempuh jalan yang dianggapnya benar, dengan usahanya sendiri, menyelidiki, merenungkan, dan mnembus ke dalam batinnya sendiri, ia melatih dirinya sendiri menguasai keinginan-keinginan terhadap kenikmatan dan rangsangan indra, di samping menguatkan kekuatan batin.

c)    Mendapat Penerangan dan Menjadi Buddha
Pada suatu malam di bulan Waisak ketika bulan purnama, di tepi sungai Neranjara, ketika ia sedang mengheningkan cipta, di bawah pohon Asatta (pohon Bodi) dengan duduk padmasana melakukan meditasi mengatur pernapasannya maka datanglah petunjuk kepadanya sehingga ia mendapatkan ilmu pengetahuan tinggi yang meliputi hal berikut:
  1. 1.       Pubbenivasanussati, yaitu pengetahuan tentang kehidupan dan proses kelahiran kembali. 
  2. 2.       Dibacakku, yaitu pengetahuan dari mata dewa dan mata batin 
  3. 3.        Cuti Upapatana, yaitu pengetahuan bahwa timbul dan hilangnya bentuk-bentuk kehidupan, baik atau buruk, bergantung pada perilaku masing-masing. 
  4. 4.       Asyakkhyanana, pengetahuan tentang padamnya semua kecenderungan dan Avidya, tentang menghilangkan ketidaktahuan[5] 
  
Dengan pengetahuan tersebut ia mendapatkan penerangan yang sempurna, pengetahuan sejati dan kebebasan batin sempurna. Dia telah mendapatkan jawaban teka-teki kehidupan yang selama ini dicarinya, dengan pengertian penuh sebagaimana tercantum dalam empat Kesunyatan Mulia yaitu Penderitaan, Sumber Penderitaan, Lenyapnya penderitaan, dan delapan cara yang utama menuju lenyapnya penderitaan itu.
Dengan telah tercapainya penerangan tersebut maka Sidharta Gautama telah menjadi Buddha pada umur 35 tahun, ia telah menjadi ‘Accharya Manusa’ atau guru dari manusia. Pada minggu terakhir melalui perenungan mendalam, ia berhasil mengetahui sebab akibat dari rangkaian penderitaan. Yaitu  karena adanya karma maka terjadilah bentuk karma karena adanya bentuk karma maka terjadilah kesadaran; karena terjadi kesadaran terjadilah bentuk batin, karena adanya bati dan jasmani , terjadilah enam indra, karena adanya indra, terjadilah kesan; karena adanya kesan, terjadilah perasaan; karena adannya peilah proses ‘dumadrasaan, terjadilah keinginan; karena adanya keinginan, terjadilah ikatan; karena adanya ikatan, terjadilah proses ‘Dumadi’;karena adanya proses ‘dumadi’, terjadilah tumimbal lahir; karena adanya tumimbal lahir, terjadilah umur tua;, kelapukan, kesusahan, ratap tangis, kesakitan, kesedihan, kematian, dan lain-lainnya.Demikianlah seluruh rangkain penderitaan itu.
Pada saat kedua malam itu, Buddha merenungkanrangkain sebab musabab yang saling bergantungan itu secara terbalik. Dan pada saat ketiga malam itu, Buddha merennungkan sebab musabab yang saling bergantungan itu dengan kedua cara terserbut, yaitu dengan langsung dan dengan cara terbalik sekaligus.
Buddha menetap selama 7 minggu di tempat itu. Pada hari terakhir kejadian yang suci itu, datanglah dua saudara Taphussa dan Balukkha yang terpesona dengan wajah sang Buddha. Keduanya lalu menjadi pengikutnya yang pertama.

d)   Mengajarkan Dharma
Dengan kegembiraan yang tak terkira ia pun bangkit dari pertapaanya dan berangkat menuju kota Benares, tempat suci dan tempat ziarah bagi penganut agama Hindu. Pada suatu tempat bernama Sarnath, tidak jauh dari Benares, ia berjumpa dengan lima rahib bekas muridnya itu dan kepada merekalah ia mulai menyampaikan ajarannya yang yang pertama Himpunan ucapannya dipandangn kotbah pertama (first Sermon) dalam sejarah agama Buddha. Kotbah pertama itu meletakkan azas ajaran dari seluruh ajarannya, terkenal dengan sebutan Empat Kebenaran Utama (Catu Arya Sacca) dan  Delapan Jalan Kebajikan (Arya Attha Ngika Magga).[6]

2)      DHARMA
Yang dimaksud Dharma adalah ialah doktrin atau pokok ajaran, inti ajaran agama Buddha dirumuskan dalam empat kebenaran yang mulia atau empat aryasatyani yang terdiri dari empat kata yaitu: Dukha, Samudaya, nirodha dan Marga.
      Empat Kebenaran Utama:
  1. Ada itu suatu derita (Dukkha)
  2. Derita itu disebabkan Hasrat (Samudaya)
  3. Hasrat itu mestilah ditiadakan (nirodha)
  4. Peniadaan itu dengan delapan jalan (Marga)
Dukha ialah penderitaan. Hidup adalah menderita. Kelahiran adalah penderitaan,  umur tua adalah penderitaan, sakit adalah penderitan, mati adalah penderitaa, disatukan dengan yang tidak dikasihi adalah penderitaan, tidak tercapai apa yang diinginkan adalah penderitaan. Singkatnya kelima pelekatan kepada dunia ini adalah penderitaan.
Samudya adalah sebab. Penderitaan ada sebabnya. Yng menyebabkan orang dilahirka kembali adalah keinginan kepada hidup, dengan disetai nafsu yang mencari kepuasan di sana-sini, yaitu kehausan pada kesenangan, kehausan kepada yang ada, kehausan pada kekuasaan.
Nirodha adalah pemadaman. Pemadaman kesengsaraan terjadi dengan penghapusan keinginan secara sempurna, dengan pembuangan keinginan itu, dengan penyangkalan terhadapnya, dengan pemisahannyadari dirinya dan dengan tidak memberi tempat kepadanya.
Marga ialah jalan kelepasan , jalan yang menuju kepada pemadaman penderitaan ada delapan, yaitu delapan jalan kebajikan:
  1. Pengetian yang benar (samma-ditthi)
  2. Maksud yang benar (samma-sankappa)
  3. Bicara yang benar (samma-vacca)
  4. Laku yang benar (samma-kammarta)
  5. Kerja yang benar (samma- ajiva)
  6. Ikhtiar yang benar (samma- vayama)
  7. Ingatan yang benar (samma-sati)
  8. Samadhi yang benar( samma-samadhi)
                 Pokok ajaran Buddha Gautama yang utama ialah, bahwa hidup adalah menderita. Seandainya di dalam dunia tidak ada penderitaan, Buddha tidak akan menjelma di dunia. Oranng dilahirkan menjadi tua dan mati; tiada hidup yang tetap. Sedang manusia hidup ia menderita sakit, dan semua itu adalah peneritaan. Untuk menerangkan hal ini diajarkan Pratitya Samutpada, artinya pokok permulaan yang bergantungan. Seluruhnya diajarkan adanya 12 pokok permulaan, yang jelas kehausan atau keinginan yang menyebabkan adanya penderitaan pada hakikatnya disebabkan oleh ketidaktahuan atau awidya.

3)      SANGHA
Pengikut agama Budha dibagi menjadi dua bagian, yaitu: para Bhiksu atau para rahib dan para kaum awam. Kelompok  pertama terdiri dari Bikkhu, Bikkhuni, Samanera, dan Samaneri. Kelompok masyarakat awam terdiri dari upasaka dan upasaki yang telah menyatakan diri berlindung kepada Buddha, Dharma, dan Sangha serta melaksanakan prinsip-prinsip moral bagi umat awam dan hdup berumah tangga.
Sangha adalah persamuan dari makhluk-makhluk suci yang disebut ‘Arya Punggala’ yaitu mereka yang sudah mencapai buah kehidupan beragama yang ditandai dengan kesatuan pandangan yang bersih dengan sila yang sempurna. Tingkat kesucian yang mereka capai itu mulai dari tingkat ‘sotapatti’, ‘sakadagami’, ‘anagami’, sampai tingkat ‘arahat’. Tetapi setelah agama Buddha Mahayana berkembang maka barang siapa bertujuan untuk memperoleh kedudukan Bodhisatwa, tak perduli apa ia orang awam, atau alim ulama, semua bergabung bersama-sama dalam suatu persaudaraan.
Tingkat Sotapati adalah tingkat kesucian pertama , dimana mereka masih menjelma tujuh kali lagi sebelum mencapai nirwana. Pada tingakatan ini seorang Satopati masih harus  mematahkan belenggu kemayaan aku, keragu-raguan, ketakhayulan sebelum dapat meningkat ke Sakadagemi. Pada tingkat Sakadagemi ia harus menjelma sekali lagi sebelum mencapai nirwana. Ia harus dapat membangkitkan kundalini sebelum naik ke tingkat anagami. Setela mencapai tingkat anagami, ia tidak perlu menjelma lagi untuk mencapai nirwana namun harus mematahkan beberapa belenggu sebelum mencapai tingkat terakhir, yaitu arahat. Belenggu tersebut adalah kecintaan yang indrawi dan kemarahan atau kebencian. Setelah berhasil mematahkan belenggu tersebut ia kemudian naik ke tingkat arahat dan dapat langsung mencapai nirwana di dunia maupun sesudah meninggalnya. Pada tingkatan ini ia harus mematahkan belenggu keinginan untuk hidup dalam bentuk (ruparaga), keinginan untuk hidup tanpa bentuk (arupara), kecongkakan (mano), kegoncangan batin (udacca) dan kekurangan kebijaksanaan.
Pengikut Buddha yang kedua adalah kaum awam, ialah yang mengakui Buddha sebagai pemimpin keagamaanya dan tetap hidup di dalam masyarakat dengan berkeluarga. Pada hakekatnya para kaum awam tidak dapat mencapai nirwana. Sekalipun demikian kedudukan mereka adalah sangat penting, mereka sudah bverada pada awal jalan yang menuju kepada kelepasan.

4)      SADDHA
Keyakinan (saddha-bahasa pali atau sradha-bahasa sanskerta) memilki makna sebagai keyakinan yang nyata atau kepercayaan yang benar (Confidet). Dalam ajaran Buddha sesungguhnya menekankan suatu kepercayaan yang timbul oleh suatu yang nyata pula. Inilah yang disebut saddha, atau dapat diartikan sebagai keyakinan yang telah mencakup pengertian percaya didalamnya. Jadi kata saddha itu dapat diartikan sebagai (1) keyakinan (2) kepercayaan-benar (3) keimanan dalam bakti.
Keyakinan dalam agama Buddha bukan keyakinan yang membuta berdasarkan dogma-dogma. Apabila tidak dilaksanakan membawa manusia pada alam neraka. “Keyakinan dalam Buddha yang paling utama adalah keyakinan kepada Buddha, keyakinan pada jalan mulia berunsur delapan, keyakinan kepada ketiadaan hawa nafsu (Viraga) atau Nibbana yang dinyatakan juga sebagai dhamma dan keyakinan kepada Ariya-Sangha, persaudaraan orang-orang suci” (A.II:34). Buddha memberikan petunjuk terhadap keyakian adalah datang dan buktikan. Perbuatan yang memberikan dampak kebahagiaan harus tetap dilaksanakan, tetapi perbuatan yang membawa penderitaan jangan dilakukan. Buddha menolak ajaran pandangan yang salah berdasarkan keyakianan yang membuta, dilakukan oleh kaum titiya dan carvaka yang menggangap bahwa kehidupan manusia akan mengalami kebahagiaan dan hidup hanya sesaat atau tubuh adalah sumber penderitaan dan harus disiksa.[7]

Keyakinan Budha
  1. Sang Hyang Adhi Budha
     Adhi budha yaitu budha yang pertama, yang di pandang sudah ada pada mula pertama, yang tanpa asal, yang tanpa asal, yang berada karena   dirinya sendiri, yang tak pernah tampak karena berada di dalam nirwana.
     Adhi budha adalah dharmakaya yang kekal, abadi, tanpa awal tanpa akhir, tanpa bentuk dan meliputi seluruh jagad raya, hanya dapat diselami oleh mereka yang telah mencapai samyak sabadh, kesadaran teragung. Dharmakaya tidak datang dimanapun dan tidak kembali kemanapun, tidak menonjolkan diri juga juga tidak musnah, tenang dan akal utuk selama-lamanya. Inilah yang unggal, yang esa, bebas dari segala arah, tidak memiliki batas-batas arah, tetapi terkandung dalm semua tubuh. Sebagai tuhan yang maha esa adhi budha memiliki beberapa nama yang menunjukan kekuasaannya dan kekeuasaannya.
  1. Para Budha
Terdapat 27 para budha –budha yang terdahulu:
  • Thankara
  • Medhankara
  • Saranankara
    • Dipankara
    • Kondanna
    • Sumana
    • Revata
    • Shobita
    • Anomadasi
    • Paduma
    • Sumedha
    • Sujata
    • Piyadasi
    • Attadasi
    • Dhammadasi
    • Siddhathta
    • Tissa
    • Phussa
    • Vipassi
    • Sikhi
    • Vessabha
    • Kausandha
    • Konagamana
    • Kassapa
    • Budha gautama

  1. Bodhisatwa
     Secara etimologi bodhisatwa terdiri dari kata bodhi, suci dan satwa yang berarti mahluk. Jadi kata bodhisatwa artinya mahluk suci. Secara harfiah bodhisatwa berarti orang yang hakikat atau tabiatnya adalah bodhi (hikmat) yang sempurna. Orang yang mempersiapkan diri untuk mencapai tingkat budha.
Berdasarkan sifatnnya bodhsatwa di bedakan menjadi tiga:
  1. Bodhisatwa pannadhika
Ialah bodhisatwa yang di dalam usahanya untuk mencapai tingkat kebudhaan lebih mengutamakan kebijaksanaan, dimana lebih banyak mengadakan perenungan terhadap hakekat dari kehidupan ini.

  1. Bodhisatwa Saddhadika
Ialah bodhisatwa yang didalam usahanya untuk mencapai tingkat kebudaan lebih mengutamakan keyakinan (sadha) terhadap darma yang diajarkan oleh budha. Dengan mengembangkan keyakinan terhadap apa yang diajarkan oleh budha maka tercapailah tingkat budha.

  1. Bodhisatwa viriyadika
Ialah bodisatwa yang di dalam usahanya untuk mencapai tingkat kebudhaan, lebih mengutamakan pengabdian kepadanpenderitaan semua mahlik dengan kemauan keras

     Sebelum Mahayana timbul, pengertian bodhisatwa sudah di kenal juga, dan dikenakan juga kepada budha Gautama, sebelum ia menjadi budha. Di situ bodhisatwa berarti orang yang sedang dalam perjalanan untuk mencapai hikmat yang sempurna, yaitu orang yang akan menjadi budha. Jadi semula bodhisatwa adalah sebuah gelar bagi tokoh yang ditetapkan untuk menjadi budha.
     Dalam Mahayana ialah orang yang sudah melepaskan dirinya dan dapat menemukan sarana untuk menjadi benih pencerahan tumbuh dan menjadi masak pada diri orang lain. Seseorang bodhisatwa bukan hanya merenungkan kesengsaraan dunia saja, melainkan turut merasakannya dengan berat, oleh karena nya ia sudah mengambil keputusan untuk mempergunakan segala aktivitas




  1. Arahat
Arahat adalah orang yang telah berhasil membebaskan diri dari dukha mencapai tingkat kesucian tertinggi.arahat juga merupakan orang yang sudah bebas daripada segala keinginan untuk di lahirkan kembali, baik dalam dunia yang tidak berbentuk, maupun di dalam dunia yang tidak berbentuk, ia juga sudah bebass daripada sgala ketinggian hati, kebenaran diri, dalam ketidaktahuan.
Proses tercapainya tingkat kesucian arahat adalahterlebih dahulu harus menjadi bodhisatwa saddhadika, setelah itu dalam usahannya lebih mengutamakan keyakinan terhadap dhamma yang diajarkan oleh budha Gautama dan akhirnya tercapailah penerangan sempurna, ialah yang disebut savaka bodhi dan kemudian menjadi savaka budha yaiyu disebut juga arahat.



Daftar pustka
Ali. A. Mukti, Agama-Agama Dunia, Yogyakarta: Hanindita. 1988
Sou Yb, Josef, Agama-Agama Besar Di Dunia. Jakarta: Husna Zikra, 1996.
Hadi Kusuma, Hilma. Antropologi Agama, Bandung: Citra Aditiya Bakti, 1993.
Pendo Kyokai, Bukkyo. Ajaran Sang Budha Danipan Gita, Karya Printing
Hadiwijono, Dr. Harun, Agama Hindu dan Budha. Jakarta: Gunung Mulia 1987.


 Endnote

[1]. Dr Harun Hadiwijoyo. Agama Hindu dan Buddha. H.50

[2] .H.A. Muktti Ali. Agama-agama di Dunia.h.102

[3] Bukkyo Dendo Kyokai; Ajaran Sang Buddha.h.174.

[4] .Joesoef Sou’yb. Agama-agama besar di Dunia.h.80

[5] .Prof. H.Hilman Hadikusuma, S.H. Antropologi Agama. H.211

[6] Ibid. h. 79

Tidak ada komentar:

Posting Komentar