A. Hari Suci
[1]Dalam upacara-upacara yang dilakukan umat Buddha terkandung dalam beberapa prinsip penting yaitu:
- Menghormati dan merenungkan sifat-sifat luhur Sang Triratna;
- Memperkuat keyakinan;
- Membina keadaan batin yang luhur;
- Mengulang dan merenungkan kembali Sang Buddha;
- Melakukan anumodhana, yaitu membagi perbuatan baik kepada orang lain.
Upacar tersebut dilakukan secara harian, mingguan, setiap hari upashota, yaitu setiap tanggal 1 dan 15berdasarkan penanggalan bulan, dan pada hari-hari raya agama Buddha.
Hari-hari raya Buddha tersebut adalah hari
Waisak, Asadha, Kathina dan Magha Puja. Hari Waisak biasanya jatuh pada
bulan pernama Sidhi, Mei-Juni, yang merupakan peringatan 3 peristiwa.
Yaitu, hari kelahiran Pangeran Siddharta (nama sebelum menjadi Buddha),
hari pencapaian Penerangan Sempurna Pertapa Gautama, dan hari Sang
Buddha wafat atau mencapai Nibbana/Nirwana. Hari Waisak juga dikenal
dengan nama Visakah Puja atau Buddha Purnima di India, Vesak di Malaysia
dan Singapura, Visakha Bucha di Thailand, dan Vesak di Sri Lanka. Nama
ini diambil dari bahasa Pali “Wesakha”, yang pada gilirannya juga
terkait dengan “Waishakha” dari bahasa Sanskerta.[2] Hari raya Asadha
biasanya jatuh pada bulan purnama Sidhi bulan Juli-Agustus, dua bulan
setelah Waisak. Hari Asadha di peringati karena hari itu adalah hari
ketika Sang Buddha mengajarkan dharma yang pertama kali kepada kelima
Pertapa, yang di kenal dengan “pemutaran roda dharma”. Hari raya Kathina
dirayakan tiga bulan setelah hari Asadha, sebagai ungkapan perasaan
terima kasih kepada para bhikkhu yang telah menjalankan vassa,
berdiam di satu tempat tertentu, di daerah mereka. Hari raya Magha Puja
biasanya jatuh pada bulan purnama bulan Februari-Maret untuk
memperingati dua kejadian penting, yaitu berkumpulnya 1250 orang arahat
di Wihara Veluvana di kota Rajagraha untuk memberi hormat pada Sang
Buddha, setelah mereka kembali dari tugas menyebarkan dharma. Peristiwa
penting kedua terjadi pada tahunterakhir dari kehidupan Sang Buddha
sewaktu berdiam di Cetiya Pavala, di kota Vesali, setelah
memberikankhotbah Iddhipada-dharma kepada para siswanya dan membuat keputusan untuk meninggal dunia tiga bulan kemudian.[3]
- B. Tempat Suci
Dalam tradisi agama Buddha, tempat-tempat suci dalam
Buddha adalah sesuatu yang sangat disakralkan (keramat atau disucikan)
oleh para perkumpulan, para penganut agama Buddha dan para orang
sucinya. Berdasarkan sejarah, duplikat tempat ibadah umat Buddha adalah
Stupa, atau gundukan pekuburan yang di dalamnya ada peninggalan dari
sisa-sisa tulang-tulang Buddha yang dikremasikan. Stupa berfungsi
sebagai sesuatu penting untuk tempat-tempat pemujaan, tapi melintas jauh
ke dunia Buddha sebagaimana tempat ibadah yang digunakan untuk
pemujaan, terutama Buddha atau bodhisattva-bodhisattva atau
bodhisatwa.[4]
Bukan saja tempat dimana Buddha mencapai kebangkitannya,
bahkan alam sendiri di anggap sakral bagi umat Buddha. Seperti replika
dari singgasana Buddha yang dianggap sesuatu sangat sakral. Roger. M.
Keesing (1976:1566) mengatakan bahwa sakral atau sakralisasi adalah
proses menjadi keramat atau transisi dari dunia sekular dunia biasa
menuju kedunia kramat sedangkan kramat adalah berhubungan dengan
kekuatan-kekuatan tertinggi atau yang melebihi kekuatan manusia, yang
terdapat dialam semesta, memiliki arti atau suasana keagamaan yang khas.
Bentuk dasar dari tempat keramat Buddha mereplikasikan
salah satu stupa-stupa ini, dengan gundukan pusat yang besar dikelilingi
susunan tangga dan puncaknya dengan struktur empat persegi dan
ditengah-tengahnya ada payung. Pada stupa yang paling pertama
barang-barang peninggalan Buddha ini disimpan pada struktur persegi,
tapi kemudian diabadikan di dalam gundukan pusat. Sebagaimana
stupa-stupa yang berkembang di India, gundukan tersebut di dekorasi
dengan represetasi dari Buddha, dan peristiwa dari kehidupannya, atau
riwayat-riwayat penting dari naskah para Buddha. Untuk memberi
penghormatan pada Buddha, pada salah satu tempat keramat tradisional
ini, seorang penyembah dianjurkan memberi pujian (do’a).
Hampir setiap negara mempunyai stupa-stupa yang menjadi
kebesaran umat Buddha. Stupa dasar dikembangkan dengan banyak cara
wilayah-wilayah yang berbeda-beda. Di Tibet, sruktur stupa agama Buddha
tersebut memanjang kedalam kearah chorten atau ‘tempat
sesembahan’. Di China, Korea, dan Jepang, bentuk stupa itu menjulang
tinggi seperti pagoda diperoleh dari payung-payung yang anggun yang
digunakan untuk menghiasi puncak stupa di India. Setiap daerah atau
negara tampaknya bentuk stupa berbeda-beda, namun fungsinya tetap sama.
Para penganut Buddha India menetapkan suatu tradisi
pembangunan kuil yang mengikuti agama Hindu. Kuil yang paling awal di
bangun adalah Gua, yaitu di India Barat. Kadang-kadang patung Buddha
yang tedapat di ruang yang terpisah serupa dengan garbha-garbha atau
“rumah peranakan” atau ‘Womh House” yang ada di kuil Hindu.
Tempat yang suci yang di bangun oleh para penganut Buddha biasanya
memiliki seni arsitektir yang luar biasa, lihat saja contohnya candi
Borobudur di Jawa Tengah. Contoh lain, puncak lengkungan kubah stupa
yang berdiri di Mount Meru, gunung kosmik Buddha yang menandai pusat
India, dan payung-payung yang muncul diatas stupa melambangkan tingkat
surga berbeda pada tradisi India kuno. Diatas payung-payung, ada ruang
kosong dari langit-langit, terletak bidang tak berbentukyang didapatkan
oleh ‘orang suci Buddha di level meditasi tertinggi dan ‘Buddha field’
merupakan tempat kediaman Buddhas dan bodhisattva-bodhisattva yang
berasal dari tradisi Mahayana.
Di dalam tradisi penganut Buddha, barang peninggalan dan patung fisik
Buddha yang di puja-puja di tempat suci merupakan bentuk badannya
Buddha atau melambangkan badannya Buddha. Ajarannya di kenal dengan
‘Dharma body’, yang juga merupakan objek pemujaan banyak orang. Beberapa
dari pengikut Mahayana sutra mengatakan bahwa beberapa tempat dimana
Dharma yang dijelaskan seharusnya diberlakukan sebagai ‘tempat suci
Buddha dan naskah-naskah India klasik juga menggambarkan tempat suci
Buddha’.
Di banyak tempat, banyak cara yang dilakukan orang untuk
menyembah Buddha, kebanyakan di Adam Peak di Sri Lanka. Menurut Tradisi
Theravada, Buddha menggunakan kekuatan superanaturalnya untuk terbang ke
Sri Lanka, dan meninggalkan jejak kakinya sebagai tanda kunjunganya.
Jejak kaki Buddha ini menjadi pusat pemujaan banyak orang yang percaya
kepada Buddha.
Para penganut Buddha tidak hanya mengkramatkan
tempat-temoat suci yang nyata ada, tetapi juga tempat-tempat yang tidak
nyata atau tyersembunyi. Apocalyptic Kalackhra Tantra (roda Waktu),
salah satu naskah Tantrik yang terakhir di India, menceritakan sejarah
kerajaan mistis (tersembunyi) yang bernama Shambhala, yang
terletak tersembunyi di salah satu gunung di utara India dan diatur oleh
raja Buddha yang budiman.Naskah tersebut meramalkan suatuwaktu dimana
kekuatan jahat telah menaklukan dunia. Shambhala kemudian akan
menampakkan diri dan raja yang budiman akan muncul dari benteng-benteng
yang tinggi dan kokoh, di kepung oleh pasukannya, untuk mengalahkan
kekuatan jahat dan membangun kembali ajaran Dharma yang di bawa oleh
Shiddharta Gautama atau Buddha.
C. Ajara Tentang Sangha
Dalam naskah-naskah Buddhis dijelaskan bahwa sangha adalah pasamuan dari makhluk-makhluk suci atau ariya-puggala. Mereka
adalah makhluk-makhluk suci yang telah mencapai buah kehidupan beragama
yang ditandai oleh kesatuan dari pandangan yang bersih dan sila yang
sempurna. Tingkatan kesucian yang telah mereka capai terdiri dari sottapati, sakadagami, anagami dan arahat.
Tingkat sottapati adalah tingkat kesucian pertama, dimana
mereka masih menjelma tujuh kali lagi sebelum mencapai nirwana. Pada
tingkatan ini seorang satopatti masih harus mematahkan belenggu kemayaan
aku (sakkayaditthi), keragu-raguan (vicikiccha), dan ketakhayulan (silabataparamasa)
sebelum dapat meningkat ke sakadagami. Pada tingkat sakadagami, ia
harus menjelma sekali lagi sebelum mencapai nirwana. Ia harus dapat
mebangkitkan kundalini sebelum naik ke tingkat anagami.setelah mencapai
anagami, ia tidak harus menjelma lagi untuk mencapai nirwana namun harus
mematahkan beberapa belenggu yaitu kecintaan yang indrawi (kamaraga), dan kemarahan atau kebencian (patigha)
sebelum mencapai tingkat terakhir, yaitu arahat. Setelah mematahkan
belenggu kamarag dan patigha, ia kemudian naik ketingkat arahat dan
dapat langsung mencapai nirwana di dunia maupun sesudah meninggalnya.
Selain ke empat tingkat kesucian di atas, dalam kepercayaan Buddha juga di kenal adanya asheka, yaitu orang yang sempurna (sabbanu) yang tidak perlu belajar lagi di bumi ini. Diantara para asheka tersebut adalah Siddharta Gautama yang telah mencapai tingkat kebuddhaan tanpa harus belajar dan berguru kepada orang lain.
Dalam sejarah Buddha, sangha di bentuk sendirioleh Sang Buddha
beberapa minggu setelah ia mencapai pencerahan. Anggotanya yang pertama
adalah Kondana, Badiya, Wappa, Mahanama dan Asaji, yaitu murid-murid
Sang Buddha yang pertama kali. Diantara mereka Kondana adalah
muridpertama yang mencapai tingkat arahat.
Sangha adalah inti masyarakat Buddha yang dapat menciptakan suasana
yang diperlukan untuk mencapai tujuan hidup tertinggi, yaitu nirwana.
Dari umat Buddha sangha patut menerima pemberian (ahu-neyyo), tempat berteduh (pahuneyyo), persembahan (dakkhineyyo), penghormatan (anjalikarananiyo), dan merupakan lapangan untuk menanam jasa yang tidak ada taranya di dunia (anuttaram pannakhettam lokassa).
Menurut kepercayaan umat Buddha, sangha tidak dapat
dipisahkan dan dharma dan Buddha, karena kegiatannya adalah Triratna
yang membentuk kesatuan tunggal dan merupakan manifestasi berasas tiga
dari Yang Mutlak di dunia.
Kata Tiratana terdiri dari kata Ti, yang artinya tiga dan
Ratana, yang artinya permata / mustika; yang maknanya sangat berharga.
Jadi, arti Tiratana secara keseluruhan adalah Tiga Permata (Tiga
Mustika) yang nilainya tidak bisa diukur; karena merupakan sesuatu yang
agung, luhur, mulia, yang perlu sekali dimengerti (dipahami) dan
diyakini oleh umat Buddha.
Hubungan antara ketiganya sering digambarkan sebagai berikut :
“Buddha sebagai bulan pernama, dharma sebagai sinarnya yang menyinari
dunia, dan sagha sebagai dunia yang berbahagia menerima sinar tersebut.”
Sebagai suatu bentuk masyarakat keagamaan, sangha terbuka
bagi setiap umat Buddha untuk memasuki dan bergabung di dalamnya,
dengan melalui tahap-tahap tertentu. Tahap pertama di mulai ketika umat
Buddha menerima jubah kuning dan memasuki persaudaraan para bhikkhu atau
bhikkhuni. Sebelum secara penuh di terima sebagai seorang bhikkhu atau
bhikkhuni, ia di haruskan untuk menjalani hidup sebagai calon bhikkhu
atau samanera dengan mengucapkan dan menepati “dasa sila atau sepuluh
janji”, tekun mempelajari dharma, menggunakan waktu luangnya untuk
perenungan suci di bawah asuhan seseorang bhikkhu atau guru (acarya)
yang dipilhnya sendiri.setelah ia dapat melakukan semua itu, maka ia di
terima secara penuh sebagai bhikkhu dalam suatu upacar penahbisan
(upasanampada) yang dihadiri oleh para sesepuh (thera-thera).
Setelah menjadi bhikkhu ia harus menjalani hidup bersih
dan suci seperti yang tertulis dalam Vinaya Pitaka, menjalani 227
peraturan yang garis besarnya adalah:
- Peraturan yang berhubungan dengan tata tertib lahiriah;
- Peraturan yang berhubungan dengan cara penggunaan makanan dan pakaian serta lain-lain kebutuhan hidup;
- Cara menanggulangi nafsu keinginan dan rangsangan batin;
- Cara untuk memperoleh pengetahuan batin yang luhur untuk penyempurnaan diri.[5]
Dalam masa lima tahun pertama
kehidupannya sebagai bhikkhu, ia masih berada dalam ikatan keguruan, dan
setelah lebih kurang 10 tahun ia disebut thera.
Masyarakat awam umat Buddha terdiri atas
upasaka dan upasaki yang telah mengakui Sang Buddha sebagai pemimpin dan
guru, mengakui dan meyakini kebenaran ajaranyya, serta berusaha dengan
sungguh-sungguh menjalankan. Pengakuan tersebut dinyatakan dalam niat
dan tekad untuk berlingung kepada Buddha untuk berlindung kepada Buddha ,
dharma dan sangha dengan mengucapkan trisarana, yaitu:
“Buddhang saranang gacchami, saya berilndung kepada Buddha. Dhamang
saranang gacchami, saya berlindung kepada dharma. Sanghang saranang
gacchami, saya berindung kepada sangha”. Setelah mengucapkan Trisarana
tersebut, seorang upasaka atau upasaki terikat secara rohaniah untuk
melaksanakan dan mengamalkan ajaran Sang Buddha dalam kehidupannya
sehari-hari.
[1] H. A. Mukti Ali, “Agama-Agama Dunia”, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), hal 132
[2]
[3] H. A. Mukti Ali, “Agama-Agama Dunia”, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), hal 133
[4] M Ikhsan Tanggok, “Agama Buddha”, Lembaga Penelitian UIN Jakarta, Jakarta: 2009, hal 76
[5] H. A. Mukti Ali, “Agama-Agama Dunia”, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), hal 131
Tidak ada komentar:
Posting Komentar